ISLAMISASI NUSANTARA DAN PERKEMBANGAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM AWAL (DAYAH, SURAU, DAN PESANTREN)

PENDAHULUAN

Pendidikan Islam berlangsung sejalan dengan proses Islamisasi. Proses pendidikan berlangsung dalam tahap sederhana melalui institusi informal. Konten yang diberikan berkutat pada pesoalan keagamaan. Pendidikan menjadi elemen penting bukan hanya pengembangan diri melainkan sarana mergenerasi pemikiran para peserta didiknya.

Pendidikan Islam yang dimulai semenjak Islamisasi wilayah Nusantara masih eksis hingga sekarang. Penyelenggaraan pendidikan mengalami perkembangan dengan mengaadaptasi tuntutan modernisasi dan mengalami proses formalisasi. Kementrian Agama bertangguangjawab menyelenggarakan pendidikan Islam melelui institusi pendidikan Islam ( Haidar Putra Daulay, 2007 : 3).

Lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren masih mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Dalam sebuah korespondensi dengan MetroTV beberapa waktu lalu, KH. Solahudin Wahid, pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng menyatakan pesantren dalam era modern menjadi alternatif  sebagai lembaga pendidikan dalam mengembangkan karakter ditengah persoalan yang membelit bangsa. Sejalan dengan pernyataan tersebut, pesantren yang merupakan lembaga pendidikan agama mampu memainkan peran dan menjawab tantangan masyarakat.

Apabila ditelaah secara historis, pendidikan Islam meluas ke segala penjuru Nusantara  pada abad ke- 17. Situasi sosial intelektual pada masa tersebut mampu mempengaruhi corak keagamaan dan penyelenggaraan pendidikan Islam hingga saat ini. Oleh karena itu menarik untuk mengkaji institusi pendidikan Islam pada masa awal perkembangannya.

 

PEMBAHASAN

 ISLAMISASI NUSANTARA

Perkembangan Islam di Jazirah Arab pada abad ke-7 Masehi membawa implikasi penyebaran agama Islam ke berbagai belahan dunia. Islamisasi mengalami proses yang masif sejak awal kemunculannya. Salah satunya terkait doktrin agama yang menganjurkan setiap individu menyampaikan ajaran agamanya kepada siapapun.

. Islamisasi Asia Tenggara umumnya berlangsung secara damai atau penetration pacifique ( Azyumardi Azra, 2000: 76) melalui saluran perdagangan dan asosiasi dengan budaya lokal. Ini didukung dengan wilayah yang strategis dalam perdagangan global sehingga mendukung polarisasi agama. Pada akhirnya Islam tampil sebagai salah satu agama terbesar di kawasan Asia Tenggara dan merupakan agama mayoritas penduduk Asia Tenggara kepulauan ( baca: Nusantara).

Islamisasi didukung daya tarik keagamaan sehingga Islam meluas di kawasan ini. Daya tarik tersebut bersumber pada pandangan dunia Islam yang berlawanan dengan keyakinan masyarakat Asia Tenggara ( Reid, 2011: 177-189, Ayumardi Azra, 1999 : 62-65). Daya tarik tersebut mencakup sebagai berikut: Pertama, portabilitas (siap pakai). Ritual keagamaan Islam bersifat universal dan dapat dibawa kemana saja. Kedua, asosiasi dengan kekayaan. Umat Islam yang berada di kawasan Asia Tenggara kebanyakan adalah padagang kaya sehingga penduduk lokal terdorong untuk memiliki kekuatan sebagaimana umat islam pada masa itu. Ketiga, Kegemilangan militer. Keempat, Tulisan. Agama Islam termasuk agama kitabiah dengan  sebuah kitab suci sebagai pedoman hidup. Kitab suci memiliki nilai atau bobot kesakralan yang tidak dimiliki penduduk lokal. Kelima, Penghafalan. Ini menjadi sebuah otoritas sakral dalam penyebaran agama karena terkait dengan ritual seperti sholat. Keenam, Penyembuhan penyakit. Islam mampu menjawab tantangan yang dihadapi oleh masyarakat lokal Asia Tenggara umumnya percaya bahwa kekuatan spiritual dapat menyembuhkan sebuah penyakit. Ketujuh, moralitas universal yang dapat diramalkan. Islam menawarkan keselamatan dari kekuatan jahat. Aspek ini tentu hanya akan diraih dengan menjalankan perintah agama.

Islamisasi ditopang pula dengan struktur yang kuat ( Ahmad Mansur Suryanegara, 2009: 13). Perdagangan dan penguasaan pasar dibarengi dengan pendirian masjid dan pendidikan.  Kedua institusi tersebut menjadi penopang dakwah yang lebih masif. Kekuatan Islam juga ditopang kekuasaan politik Islam (Kesultanan) seperti Perlak, Samudera Pasai, Aceh di Sumatera, Demak dan Banten di Jawa, serta penegakan hukum Islam yang mampu melindungi kepentingan umat Islam.

Ulama memiliki peranan penting dalam pelaksanaan ajaran keagamaan. Selain itu, ulama juga mendapat kedudukan  seperti Kadi, Syaikhul Islam dan Penghulu dalam struktur politik Kesultanan ( Jajat Burhanudin, 2012: 37-42).

 PENGARUH ISLAMISASI TERHADAP PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM AWAL DI NUSANTARA

Pendidikan Islam berlangsung bersamaan dengan proses Islamisasi wilayah Nusantara. Pendidikan terlihat dari kemunculan masjid dan pengembangan institusi pendidikan di berbagai wilayah. Lembaga pendidikan ini di Aceh disebut sebagai Dayah, di Sumatra Barat disebut sebagai Surau, sementara di Jawa disebut sebagai Pesantren. Ketiga institusi ini menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran pengetahuan Islam dan terdapat adopsi budaya lokal didalamnya.

Perkembangan pesat institusi pendidikan Islam menemukan momentum pada abad ke-17. Laju perkembangan ini terkait dengan pembaruan intelektual dan situasi politik kerajaan besar yang sedang berubah. Pembaruan intelektual merupakan transmisi gagasan keagamaan yang melibatkan jaringan intelektual ulama. Gejala yang muncul dalam pembaruan intelektual adalah neosufisme yakni perpaduan ajaran tasawuf yang dirumuskan kembali dengan penguatan syariat (Azyumardi Azra, 2000:124 ; Jajat Burhanudin, 2012: 95). Ulama besar seperti Abdur Rauf as Singkili, dan Yusuf al Maqassari menghubungkan corak keilmuan yang berkembang di Harmayn ke wilayah Nusantara. Manifestasi pembaruan intelektual adalah munculnya gerakan keagamaan keagamaan ( tarekat) seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syatariyah di wilayah Nusantara. Tarekat-tarekat tersebut memiliki basis di  surau, dayah, dan pesantren.

Perkembangan lembaga pendidikan Islam dipengaruhi pula kebijakan politik Kesultanan.  Sultan Iskandar Muda dari Aceh misalnya membangun struktur politik feodal dengan menyelenggarakan jabatan uleebalang guna memperkuat hegemoni politiknya atas daerah taklukan. Kebijakan ini berarti memisahkan hierarki kekuasaan agama dan politik, yang masing-masing dipegang oleh ulama dan uleebalang ( Jajat Burhanudin, 2012: 76). Dalam kasus kerajaan Mataram hubungan ulama dan penguasa mengalami konflik. Kebijakan politik Amangkurat 1 memerangi ulama yang dianggap melakukan pemberontakan. Hubungan ini membawa implikasi yang lebih luas secara politik yakni pemisahan diri ulama dari kancah politik dan menjauhkan hubungan pesantren dengan aristokrat.

Perubahan politik ditandai pula dengan runtuhnya keraajaan maritim pesisir yang berimplikasi pada perubahan orientasi keagamaan. Ulama kehilangan pengaruhnya secara politik dan terjadi perubahan peran ulama dari pejabat menjadi guru agama di institusi seperti dayah, surau, dan pesantren. Ini juga menandai babakan baru Islam tradisonal yang berbasis di pedalaman.

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN ISLAM DI NUSANTARA

Pembaruan intelektual yang terbentuk melakui jaringan ulama memunculkan semangat keagamaan baru.  Gerakan keagamaan yang bersifat spiritual seperti tarekat banyak bermunculan. Tarekat-tarekat yang merupakan aliran sufi seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syatariyah membentuk basis umat di  surau, dayah, dan pesantren.

Aliran Sufi mampu melakukan Islamisasi hingga mencapai wilayah periferal atau pedalaman. Sufi mudah diterima oleh masyarakat lokal karena pada hakikatnya aliran tersebut toleran dengan budaya lokal. Islam sebagai realitas sosial mampu mengakomodasi budaya yang termanifestasi dalam kehidupan masyarakat (Azyumardi Azra, 1999: 12). Oleh karena itu, dalam kehidupan beragama local genius masih kentara. Hal ini dapat diamati juga dalam lembaga pendidikan Islam di Nusantara.

 1.      Surau

Surau merupakan sebuah institusi pendidikan Islam di Sumatera Barat. Walaupun demikian, Surau telah menjadi bagian dari sistem adat dan budaya masyarakat Minangkabau sebelum Islam masuk ke wilayah ini. Sistem kekerabatan matrilineal dalam masyarakat Minangkabau mengatur bahwa laki-laki hanya bisa bertamu ke rumah isterintya saja. Surau merupakan tempat kediaman para pemuda yang telah akil balig dan menjadi tempat untuk menimba ilmu ( Dobbin, 2008: 191). Oleh karena itu surau menjadi saluran yang strategis sebagai sarana Islamisasi.

 Surau menjadi pusat tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syatariyah. Tarekat menjadi ikatan solidaritas sosial baru di tengah segmentasi masyarakat adat Minangkabau. Dalam suatu tarekat ketaatan seorang guru kepada murid sifatnya mutlak. Guru menjadi sentral ilmu bagi para muridnya untuk mempelajari al Qur’an maupun kitab-kitab klasik lainnya.

 2.      Dayah

Dayah berasal dari kosakata Arab zawiyah yang berarti bangunan yang berkaitan dengan masjid. Dalam dialek Aceh pengucapan kata zawiyah menjadi dayah yang secara fungsional merujuk pada tempat pendidikan (Haidar Putra Daulay, 2007:25). Materi yang diajarkan merupakan Alqur’an dan  kitab klasik mengenai fiqih, tauhid, tasawuf, dan sebagainya.

 3.      Pesantren

Pesantren secara ketatabahasaan berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran –an, yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam sebuah pesantren terdapat lima elemen penting antara lain: pondok, masjid, kyai, santri, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Zamakhsyari Dhofier, 1983: 44-60). Pertama, pondok. Kata pesantren sering disejajarkan dengan istilah pondok yang berarti tempat untuk tinggal dan belajar. Keduanya bahkan  diucapkan sebagai suatu kesatuan. Pemondokan merupakan suatu yang penting karena pada umumnya santri berasal dari berbagai daerah yang jauh. Kondisi pesantren juga berada di perkampungan yang jarang terdapat perumahan yang dapat menampung santri.

Kedua, Masjid. Masjid secara istilah merupakan tempat sujud dan peribadatan umat Islam. Dalam dimensi lain masjid juga dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan maupun kegiatan sosial.

Ketiga, Kyai. Istilah ini merujuk pada gelar yang disematkan oleh masyarakat kepada orang yang ahli dalam bidang agama yang memimpin pesantren. Kyai merupakan golongan elit dalam struktur masyarakat. Sosok kyai bahkan dianggap ma’shum atau tanpa salah ( Ahmad Syafii Maarif, 2006: 58). Keempat, Santri yakni siswa yang belajar di pesantren. Hubungan santri dan kyai ditandai dengan kepatuhan mutlak kepada sang kyai.

Kelima, pengajaran kitab-kitab Islam Klaik terutama yang bermazhab Syafii. Selain Al Qur’an terdapat delapan kitab yang diajarkan antara lain nahwu, saraf, fiqh, ushul fiqh, hadis, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, dan cabang lain seperti tarikh dan balagh. Kitab klasik tersebut diistilahkan dengan kitab kuning yang wajib dipelajari seorang santri.  Tujuan pembelelajaran pesantren ialah mencetak para ulama. Sistem pembelajaran di pesantren dapat digolongkan menjadi dua yakni metode sorogan yaitu sistem pengajaran yang sifatnya individual bagi siswa yang mampu membaca Al Qur’an dan metode bandongan atau weton yaitu sistem pembelajaran secara massal dengan mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas buku Islam dalam bahassa Arab.

 

PENUTUP

 

Islamisasi Asia Tenggara umumnya berlangsung secara damai atau penetration pacifique ( Azyumardi Azra, 2000: 76) melalui saluran perdagangan dan asosiasi dengan budaya lokal. Islamisasi didukung daya tarik keagamaan sehingga Islam meluas di kawasan ini. . Daya tarik tersebut bersumber pada pandangan dunia Islam yang berlawanan dengan keyakinan masyarakat Asia Tenggara ( Reid, 2011: 177-189, Ayumardi Azra, 1999 : 62-65).

Pendidikan Islam berlangsung bersamaan dengan proses Islamisasi wilayah Nusantara dan teraktualisasi dalam lembaga pendidikan seperti  Dayah di aceh, Surau di Sumatra Barat, dan Pesantren di Jawa. Perkembangan pesat institusi pendidikan Islam menemukan momentum pada abad ke-17. Laju perkembangan ini terkait dengan pembaruan intelektual dan situasi politik kerajaan besar yang sedang berubah. Perkembangan tersebut ditandai dengan perubahan peran ulama dan perubahan orientasi keagamaan.

Pembaruan intelektual yang terbentuk melakui jaringan ulama memunculkan semangat keagamaan baru.  Tarekat-tarekat yang merupakan aliran sufi seperti Qadiriyah, Naqsyabandiyah, dan Syatariyah membentuk basis umat di  surau, dayah, dan pesantren. Aliran Sufi mampu melakukan Islamisasi hingga mencapai wilayah periferal atau pedalaman. Sufi mudah diterima oleh masyarakat lokal karena pada hakikatnya aliran tersebut toleran dengan budaya lokal. Islam sebagai realitas sosial mampu mengakomodasi budaya yang termanifestasi dalam kehidupan masyarakat (Azyumardi Azra, 1999: 12)

 

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mansur Suryanegara. 2009. Api Sejarah : Mahakarya Perjuangan Santri dalam Menegakkan NKRI. Bandung: Salam Madani

Ahmad Syafii Maarif. 2006.  Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES

Azyumardi Azra. 2000. Renaissans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung : Rosda

Azyumardi Azra. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia. Jakarta: Paramadina

Azyumardi Azra. 2004. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Nusantara. Jakarta: Kencana

Dobbin, Christine. 2008. Gejolak Ejonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerajan Paderi Minangkabau 1784-1847. Depok: Komunitas Bambu

Haidar Putra Daulay. 2007. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana

Jajat Burhanudin. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan

Reid, Anthony. 2011. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1460-1680 Jilid II : Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Zamaksyari Dhofier. 1983. Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES

Tinggalkan komentar